Saya mengutip sebuah tulisan dari sebuah sumber online yang mengetengahkan sebuah topik tentang hubungan islam modern dan tradisional di INDONESIA sebagai berikut :
PENDAHULUAN
Pluralisme agama menghadapkan kita pada dua tantangan sekaligus, yakni teologis dan sosiologis. Secara teologis, kita dihadapkan pada tantangan iman: bagaimana mendefinisikan iman kita ditengah keragaman iman yang lainnya? Begitu pula secara sosiologis, kitapun dihadapkan pada sejumlah fakta sosial: bagaimanakah hubungan antar umat beragama, lebih khusus lagi hubungan antar iman ditengah pluralisme agama?
Pluralisme agama menghadapkan kita pada dua tantangan sekaligus, yakni teologis dan sosiologis. Secara teologis, kita dihadapkan pada tantangan iman: bagaimana mendefinisikan iman kita ditengah keragaman iman yang lainnya? Begitu pula secara sosiologis, kitapun dihadapkan pada sejumlah fakta sosial: bagaimanakah hubungan antar umat beragama, lebih khusus lagi hubungan antar iman ditengah pluralisme agama?
Fakta sosial secara jelas
menyadarkan kita bahwasannya pluralisme agama belumlah berkorelasi
positif dengan harmoni agama. Justru fakta berbicara sebaliknya:
pluralisme agama seringkali menjadi pemicu konflik sosial dan sentimen
keagamaan. Mengapa demikian? Banyak faktor yang bisa menjelaskan. Salah
satunya adalah masih kuatnya “Hambatan Teologis” di kalangan umat
beragama untuk menerima kehadiran pluralisme agama sebagai hukum Tuhan.
Maka, alih-alih bersikap toleran, inklusif, dan pluralis, umat beragama
justru semakin mengeras kearah sikap intoleran, eksklusif dan cenderung
antipluralisme. Untuk itu, agenda awal kita adalah begaimana memecahkan
“hambatan teologis” dikalangan umat beragama dalam menerima kehadiran
pluralisme sebagai hukum Tuhan.
LATAR BELAKANG MASALAH
Muhammadiyah dan NU merupakan dua organisasi terbesar yang ada di Negeri ini. Pengaruh dari kedua organisasi ini amat terasa ditengah masyarakat, meski berbeda massanya. Dakwah bil lisan maupun bil hal yang menjadi ciri khas kedua ormas keagamaan ini sudah sejak lahirnya diketahui masyarakat, bukan saja didalam negeri, tetapi juga di luar negeri.
Muhammadiyah dan NU merupakan dua organisasi terbesar yang ada di Negeri ini. Pengaruh dari kedua organisasi ini amat terasa ditengah masyarakat, meski berbeda massanya. Dakwah bil lisan maupun bil hal yang menjadi ciri khas kedua ormas keagamaan ini sudah sejak lahirnya diketahui masyarakat, bukan saja didalam negeri, tetapi juga di luar negeri.
Sebagai organisasi terbesar di
Indonesia, ternyata antara Muhammadiyah dan NU memiliki beberapa
perbedaan mendasar, baik dalam teologi, visi politik maupun perbedaan
yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan sumber daya dan
infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua organisasi
tersebut kurang berimbang. Perbedaan-perbedaan yang ada mengakibatkan
antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok, menjadikan kedua
organisasi ini jurang pemisahnya terlalu lebar. Akibatnya, tidak
produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun wacana
keagamaan.
POKOK MASALAH
Keberadaan Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama) dalam sejarah Indonesia modern memang amat menarik. Sepanjang perjalanan kedua organisasi Islam terbesar ini, senantiasa diwarnai koorporasi, kompetisi, sekaligus konfrontasi. Membicarakan Muhammadiyah dan NU di Indonesia selalu melibatkan harapan dan kekhawatiran lama yang mencekam, karena wilayah pembahasan ini penuh romantisme masa lalu yang sarat emosi dan sentimen historis yang amat sensitif. Sekedar contoh, Sering dinyatakan, kelahiran NU tahun 1926 merupakan reaksi defensif atas berbagai aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah (dan Serekat Islam), meski bukan satu-satunya alasan.
Keberadaan Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama) dalam sejarah Indonesia modern memang amat menarik. Sepanjang perjalanan kedua organisasi Islam terbesar ini, senantiasa diwarnai koorporasi, kompetisi, sekaligus konfrontasi. Membicarakan Muhammadiyah dan NU di Indonesia selalu melibatkan harapan dan kekhawatiran lama yang mencekam, karena wilayah pembahasan ini penuh romantisme masa lalu yang sarat emosi dan sentimen historis yang amat sensitif. Sekedar contoh, Sering dinyatakan, kelahiran NU tahun 1926 merupakan reaksi defensif atas berbagai aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah (dan Serekat Islam), meski bukan satu-satunya alasan.
TINJAUAN TEORITIS
Penelitian banyak mengemukakan, Muhammadiyah identik organisasi Islam yang mencontoh gerakan misi dan zending barat. Berhubung Muhammadiyah mencontoh gerakan misi dan Zending Barat, maka menurut para pengamat, gerakan-gerakan yang dilakukan merupakan gerakan yang bercorak Barat, seperti mendirikan sekolah, panti asuhan dan rumah sakit (James Peacock, 1981; Mitsuo Nakamura, 1980; Lance Castles, 1982; Alfian, 1984; Mulkhan, 2000; Asy,arie, 1998; Bruinessen, 1994; Hikam, 1999; Pendekatan Hegelian: (1). Lebih menekankan fungsi komplementatif daripada fungsi suplementatif, (2). Menekankan pentingnya kelas menengah.; Pendekatan Alexis de Tocqueville: Menekankan fungsi civil society sebagai counter balancing terhadap negara, dengan melakukan penguatan organisasi-organisasi independen di masyarakat dan pencangkokan civic culture untuk membangun budaya demokratis.
Penelitian banyak mengemukakan, Muhammadiyah identik organisasi Islam yang mencontoh gerakan misi dan zending barat. Berhubung Muhammadiyah mencontoh gerakan misi dan Zending Barat, maka menurut para pengamat, gerakan-gerakan yang dilakukan merupakan gerakan yang bercorak Barat, seperti mendirikan sekolah, panti asuhan dan rumah sakit (James Peacock, 1981; Mitsuo Nakamura, 1980; Lance Castles, 1982; Alfian, 1984; Mulkhan, 2000; Asy,arie, 1998; Bruinessen, 1994; Hikam, 1999; Pendekatan Hegelian: (1). Lebih menekankan fungsi komplementatif daripada fungsi suplementatif, (2). Menekankan pentingnya kelas menengah.; Pendekatan Alexis de Tocqueville: Menekankan fungsi civil society sebagai counter balancing terhadap negara, dengan melakukan penguatan organisasi-organisasi independen di masyarakat dan pencangkokan civic culture untuk membangun budaya demokratis.
KONFLIK ISLAM MODERN DAN ISLAM TRADISIONAL DI INDONESIA
Dialektika Muhammadiyah dan NU dalam sejarah politik Islam di Indonesia, dapat dirunut, paling tidak, sejak lahir tahun 1930-an, melalui MIAI (Majelis Islam A,la Indonesia), sebuah federasi untuk membina kerja sama berbagai organisasi Islam. Kompetisi dan konstelasi kedua tradisi Islam ini, sepanjang Orde Lama dan Orde Baru, tampak dari rivalitas keduanya dalam Masyumi sepanjang tahun 1945-1952 dan di PPP sepanjang tahun 1973-1984, respon terhadap Demokrasi Terpimpin dan Nasakom, serta respons terhadap rezim Orba. Belum lagi persaingan dalam memperebutkan berbagai jabatan politik. Karena itu, dapat dimengerti bila persaingan ini pada akhirnya juga merambah bidang lain, termasuk pendekatan dalam mengembangkan civil society.
Dialektika Muhammadiyah dan NU dalam sejarah politik Islam di Indonesia, dapat dirunut, paling tidak, sejak lahir tahun 1930-an, melalui MIAI (Majelis Islam A,la Indonesia), sebuah federasi untuk membina kerja sama berbagai organisasi Islam. Kompetisi dan konstelasi kedua tradisi Islam ini, sepanjang Orde Lama dan Orde Baru, tampak dari rivalitas keduanya dalam Masyumi sepanjang tahun 1945-1952 dan di PPP sepanjang tahun 1973-1984, respon terhadap Demokrasi Terpimpin dan Nasakom, serta respons terhadap rezim Orba. Belum lagi persaingan dalam memperebutkan berbagai jabatan politik. Karena itu, dapat dimengerti bila persaingan ini pada akhirnya juga merambah bidang lain, termasuk pendekatan dalam mengembangkan civil society.
Antagonisme politik yang terjadi
antara Islam modernis dengan pemerintah yang berlangsung sejak tahun
1960 (ketika Masyumi dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno),
membuat kalangan modernis mencoba mencari landasan teologis baru guna
berpartisipasi dalam “develomentalisme” Orba. Tahun 1971, dalam Muktamar
di Ujung Pandang, Muhammadiyah menyatakan tidak berafiliasi terhadap
salah satu partai politik manapun. Hal ini hampir bersamaan dengan
wacana yang dikembangkan generasi baru intelektual Islam, yang sejak
dasawarsa 1970-an berusaha mengembangkan format politik baru yang lebih
menekankan aspek substansial. Motivasi kalangan modernis agar bisa
terakomodasi dalam proses pembangunan Orba seperti ini menyebabkan
mereka mengembangkan civil society dengan pendekatan Hegelian, yang
memiliki ciri (1) lebih menekankan fungsi komplementatif dan
suplementatif. Dengan cirri seperti ini, sipil society berfungsi
melaksanakan sebagian peran-peran negara. (2) Menekankan pentingnya
kelas menengah. Tentu saja kelas menengah yang sedikit banyak bergantung
kepada state. Karena sebagaimana lazimnya negara dunia ketiga yang
sedang berkembang, state memegang peranan penting dalam seluruh sektor
kehidupan.
Pendekatan Hegelian seperti diadopsi
oleh Muhammadiyah ini, mendapat kritik tajam dari Alexis de
Tocqueville. Ini disebabkan, karena dalam pemikiran Hegel, posisi negara
dianggap sebagai standar terakhir. Seolah-olah, hanya pada dataran
negara sajalah politik bisa berlangsung secara murni dan utuh, sehingga
posisi dominan negara bermakna positif. Dengan demikian civil society
akan kehilangan dimensi politik dan tergantung manipulasi dan intervensi
negara. Pendekatan Tocquevellian yang diadopsi NU, menekankan fungsi
civil society sebagai counter balancing terhadap negara, dengan
melakukan penguatan organisasi-organisasi independen di masyarakat dan
pencangkokkan civic culture untuk membangun budaya demokratis.
Pendekatan Tocquevellian ini digunakan karena sepanjang dua dasawarsa
awal Orba, NU tidak memperoleh tempat dalam proses-proses politik.
Marginalisasi politik ini, disebabkan karena rezim Orba hanya
mengakomodasi kelompok Islam yang mendukung modernisasi, dan itu didapat
dari kalangan modernis yang sudah lebih dulu melakukan pembaruan
pemikiran politik Islam. Selain itu, tentu saja, akibat rivalitas dengan
kalangan modernis yang menjadi kelompok dominan di PPP. Dengan
demikian, dapat dimengerti jika sejak muktamar 1984 di Situbondo, NU
menyatakan kembali khitah 1926, dan mengundurkan diri dari politik
praktis, yang secara otomatis menarik dukungan dari PPP.
Dengan motivasi seperti itu, maka
sejak akhir dasawarsa 1980-an, aktivis NU banyak diarahkan pada
penciptaan free public sphere, tempat dimana transaksi komunikasi bisa
dilakukan warga masyarakat secara bebas dan terbuka. Upaya ini dilakukan
dengan cara advokasi masyarakat kelas bawah, dan penguatan LSM. Mereka
meyakini, civil society hanya bisa dibangun jika masyarakat memiliki
kemandirian dalam arti seutuhnya, serta terhindar dari jaring intervensi
dan kooptasi negara. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengamati kiprah
NU sejak awal dasawarsa 1990-an. Ketika kalangan Islam modernis
terakomodasi dlam state (ICMI), Gus Dur mendirikan forum demokrasi, dan
aktivitas NU secara umum diarahkan untuk menciptakan ruang publik diluar
state dengan banyak bergerak dalam LSM-LSM dan kelompok-kelompok studi.
Inilah peran Gus Dur dan NU sebagai kekuatan penyeimbang dan berhadapan
vis-à-vis negara. Mereka ini pada awalnya menjadikan Islam modernis
yang terakomodasi dalam state sebagai lahan kritik (Hikam:1999). Bagi
mereka, modernisme tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber
gagasan kemajuan dan dipuja sebagai dewa penyelamat bagi peradaban
manusia. Karena modernisme itu sendiri terbukti tidak mampu memenuhi
janji-janji kemajuannya. Bahkan, dalam beberapa hal, modernisme
meninggalkan banyak petaka.
Kesimpulan
Konflik yang semakin mengental antara Islam modern (Muhammadiyah) dengan Islam tradisional (Nahdatul Umat) dengan puncak klimaksnya ketika K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden RI ke-4, maka emosi politikpun menyusup kedalam gerakan kultural kedua Ormas tersebut. Dimana sebenarnya perbedaan pemikiran kedua ormas itu tidaklah terlalu jauh, karena secara subtantif, kedua aktivis ormas terbesar itu mempunyai titik temu dalam aras mengusung wacana baru yang menyemangati transformasi, inklusivitas, dan progresivitas.
Konflik yang semakin mengental antara Islam modern (Muhammadiyah) dengan Islam tradisional (Nahdatul Umat) dengan puncak klimaksnya ketika K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden RI ke-4, maka emosi politikpun menyusup kedalam gerakan kultural kedua Ormas tersebut. Dimana sebenarnya perbedaan pemikiran kedua ormas itu tidaklah terlalu jauh, karena secara subtantif, kedua aktivis ormas terbesar itu mempunyai titik temu dalam aras mengusung wacana baru yang menyemangati transformasi, inklusivitas, dan progresivitas.
Sejarah membuktikan, perseteruan
politik kerapkali meruntuhkan singgasana kultural yang mempunyai
komitmen untuk membangun civil society. Hal tersebut dapat dilihat dari
retaknya hubungan antara Gus Dur (tokoh NU) dan Amien Rais (Tokoh
Muhammadiyah), karena keduanya sedang bertarung dalam domain politik
yang implikasinya sangat besar terhadap bangunan kultural yang
berkecambah dalam kedua ormas tersebut. Oleh karena itu, harapan besar
berada diatas pundak aktivis muda NU dan Muhammadiyah untuk mewujudkan
hubungan yang sinergis. Disinilah gerakan kultural dalam kedua ormas
tersebut dipertaruhkan.
No comments:
Post a Comment